Halo, Kawan! Setelah sekian lama tidak menulis, aku kembali hadir dengan membawa artikel baru. Mari doakan supaya Limya bisa menulis terus setelah ini!😭 (Ya, harusnya sambil usaha juga dong, akunya.)
Pada artikel yang rilis sebelum ini tentang buku, aku sudah menulis tentang buku fiksi. Kamu bisa kembali membaca ulang artikel tersebut, ya. Nah, kali ini aku akan membahas buku fiksi. Ngomong-ngomong, saat aku menulis ini, aku ditemani dengan playlist Spotify-ku berisi lagu-lagu Korea yang menghangatkan hati. Hehe.
Nanti, kapan-kapan, aku juga akan membuat section terkait musik, ya. Namun, dari kacamata awamku sebagai penikmat musik saja.
Tak perlu berbasa-basi lebih panjang, mari kita langsung berangkat saja menuju pembahasan terkait buku nonfiksi! Kali ini, aku akan lebih fokus membahas resensi buku nonfiksi, setelah sebelumnya membahas pengertian serta contoh buku nonfiksi.
Pengertian Resensi Buku Nonfiksi
Untuk memahami resensi buku nonfiksi secara lebih jauh, pertama-tama kita harus mengetahui pengertiannya terlebih dahulu. Kita bisa merujuk pengertian dasarnya pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Menurut KBBI, resensi adalah pertimbangan, pembicaraan, atau ulasan. Jika memperhatikan arti resensi, apabila digabungkan dengan frasa “buku nonfiksi”, kita dapatkan pengertian “pertimbangan, pembicaraan, atau ulasan mengenai buku nonfiksi.
Ciri-Ciri Resensi Buku Nonfiksi
Selanjutnya, hal yang membedakan resensi buku nonfiksi dengan buku fiksi tentu terletak pada jenis buku. Tak jarang, resensi buku nonfiksi mengikuti gaya bahasa buku tersebut sehingga terlihat lebih formal dan serius. Selanjutnya, kita dapat melihat ciri-ciri lebih jauh sebagai berikut.
Menggunakan Bahasa yang Cenderung Formal
Biasanya, buku nonfiksi akan menggunakan bahasa formal atau semiformal dalam gaya penulisannya. Ini disebabkan buku nonfiksi memaparkan pemikiran yang dapat dipertanggungjawabkan dan bukan karangan.
Oleh sebab itu, resensi buku nonfiksi juga biasanya menggunakan bahasa yang cenderung formal. Ini karena pengulas lebih condong untuk mengikuti gaya bahasa dalam buku nonfiksi tersebut. Namun, jika kamu ingin mengulas buku nonfiksi dengan gaya yang “tidak biasa”, tentu boleh, ya.
Lebih Fokus Menjelaskan Isi Buku
Kalau membaca resensi buku nonfiksi, kita sering menemukan bahwa buku tersebut diulas secara menyeluruh. Buku nonfiksi dapat diulas dengan menjelaskan garis besar dari setiap babnya sehingga pembahasannya pun lebih lengkap.
Hal ini berbeda dengan resensi buku fiksi yang biasanya menarik pembaca dengan “membangkitkan rasa penasaran”. Tentu isi buku dalam resensinya tidak dapat dijelaskan terlalu mendetail agar tidak spoiler. Selain itu, dalam resensi buku fiksi kita dapat lebih fleksibel membahas hal lain, misalnya tokoh atau alur ceritanya.
Namun, tak menutup kemungkinan adanya buku nonfiksi yang juga menggunakan cerita sebagai cara penyampaiannya.
Pandangan yang Cenderung Sama
Berbeda dengan resensi buku fiksi yang bisa menghasilkan berbagai sudut pandang, biasanya beberapa resensi buku nonfiksi mengulas hal serupa terkait isi bukunya. Hal ini karena buku fiksi dan nonfiksi tentu dipahami dengan cara yang berbeda.
Buku fiksi bisa menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda tergantung pemikiran atau perasaan ketika membacanya. Namun, ketika membaca buku nonfiksi, kita cenderung menyelami dan mengikuti pemikiran dari penulis. Ini karena ada “tema” atau “topik” tertentu yang “pasti ada” dalam buku nonfiksi.
Contoh Resensi Buku Nonfiksi
Tidak terasa, kita telah membahas bersama-sama mulai dari pengertian hingga ciri-ciri resensi buku nonfiksi. Kini saatnya kita menyimak contoh resensi buku nonfiksi bersama-sama.
Resensi Buku Reasons to Stay Alive: Berjuang di Batas Kewarasan
Berikut adalah resensi buku Reasons to Stay Alive versi terjemahan yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2018. Membaca buku ini membuka pikiran kita tentang depresi, kecemasan, dan perasaan yang dialami oleh penyintasnya.
Identitas Buku
Judul: Reasons to Stay Alive
Penulis: Matt Haig
Penerjemah: Rosemary Kesauly
Jumlah Halaman: 276
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2018 (Cetakan Pertama)
Peringatan Pemicu: Depresi, Kecemasan, Bunuh Diri
Sinopsis Singkat
Buku ini berisi beberapa cerita dari Matt Haig tentang hari-hari ketika ia mengalami depresi dan kecemasan. Bahkan hingga mengalami gejala yang paling parah, yaitu ketika ia mempunyai pemikiran bunuh diri.
Matt Haig mulai merasakan keanehan-keanehan pada diri dan pikirannya sejak berumur 13 tahun. Namun, semua itu lebih sering dipendamnya hingga pada umur 24 tahun, Matt Haig mencoba bunuh diri dengan berdiri di pinggir tebing.
Namun, pada saat dia akan menerjunkan dirinya, tiba-tiba dia membatalkannya dan mengurungkan niatnya. Ia pun berbalik dan kembali ke vila.
Bertahun-tahun, Matt Haig berusaha hidup bersama depresi dan kecemasan yang melingkupi dirinya. Ia menceritakan berbagai perasaan yang dialami saat depresi dan kecemasan tersebut datang.
Selain itu, Matt Haig juga memberikan beberapa afirmasi dan fakta soal depresi dan kecemasan. Ia menuliskannya mirip seperti kutipan sehingga sangat mengalir dan lebih mudah dibaca.
Pada akhirnya, Matt Haig mengajak pembaca untuk merenungi diri dan kehidupan. Akhirnya ia bisa berdamai dengan depresi serta menemukan alasan untuk tetap hidup. Ia pun berbagi cara supaya bisa menjalani hidup versi dirinya.
Menyelam Lebih Jauh
Reasons to Stay Alive adalah buku yang bagus dibaca ketika Kawan merasakan gejala depresi dan kecemasan, seperti mudah panik, selalu merasa sedih dan putus asa, serta tidak mempunyai tujuan hidup.
Dalam buku ini, kita pun akan diarahkan untuk membaca berbagai tanda-tanda dari depresi baik secara fisik maupun mental. Jadi, jika tanda-tanda tersebut sudah ada, baiknya Kawan segera mengunjungi profesional untuk mendapatkan tindak lanjut.
Ada lima bagian dalam buku ini. Pertama adalah “Jatuh”. Bagian ini menceritakan ketika Matt Haig menemui titik terendah dalam hidupnya, percobaan bunuh diri yang dilakukannya, hingga titik balik ketika akhirnya dia merasa menemukan keberanian untuk hidup lebih besar daripada keputusasaannya.
Bagian kedua adalah “Mendarat”. Pada bagian ini, Matt Haig menceritakan hal-hal yang disadarinya ketika mengalami depresi, termasuk serangan panik yang sering dialaminya. Ia pun sedikit mengulas balik masa-masa dirinya belum begitu menyadari bahwa depresi sedang mengintainya.
Pada bagian kedua tersebut, Matt Haig juga menjelaskan bahwa pendampingan sangat penting ketika depresi. Ia menceritakan dukungan yang didapatkannya dari pasangannya, Andrea, dan perlahan-lahan ia mulai menemukan alasan hidupnya.
Bagian ketiga berjudul “Bangkit”, di sini Matt Haig mulai melakukan beberapa cara untuk menghadapi depresinya dan menemukan berbagai cara untuk hidup bersamanya. Misalnya, ia melawan ketakutannya untuk pergi ke Paris, membaca, menulis dan akhirnya menerbitkan buku.
Lalu, pada bagian keempat berjudul “Menjalani Hidup”, Matt Haig menceritakan bahwa ia perlahan-lahan mulai “terbiasa” dengan depresi yang dialaminya. Ia menyiratkan depresi kadang lenyap begitu saja dan kadang timbul kembali, tetapi ia sudah bisa hidup dengannya. Ia membagikan cara-caranya bisa bertahan menjalani hidup.
Akhirnya, bagian kelima dengan judul “Menjadi Bagian dari Kehidupan”, ia mengajak semua orang yang memiliki penderitaan yang sama untuk merenungkan hidup. Ia akhirnya mulai menemukan kembali alasan untuk hidup tersebut, meski dari hal-hal sederhana.
Buku ini mungkin kurang cocok bagi Kawan-Kawan yang tidak begitu menyukai gaya penulisan dengan bentuk kutipan-kutipan beralur maju-mundur. Bisa jadi buku ini akan sedikit membingungkan karena alurnya, tetapi Matt Haig selalu mencantumkan waktu secara detail tepat saat itu terjadi.
Selain itu, buku ini menyediakan beberapa tips yang menggugah hati kita untuk bersimpati, baik kepada diri sendiri maupun kepada penyintas depresi.
Tinggalkan Balasan